Jam Dingdong


Masuk Yu Ke Dunia Imajinasiku...

Selamat Membaca...
Tolong Komentar dan Kritikannya ya....

Minggu, 20 November 2011

SAHABAT SEIMAN

Sembari mengucek mata dengan kedua tangan, perlahan ku buka mataku dengan malasnya. Langsung saja ku lihat jam dinding yang nemplok di dinding kamarku, aku sangat tak menyangka bisa bangun sepagi ini. Biasanya ketika aku di Bandung, paling pagi bangun jam 06.00 tapi di rumahku yang baru ini jam 05.00 aku sudah terbangun dan serasa tak ingin lagi bermalas-malasan. Langsung saja ku ambil handuk dan pergi ke kamar mandi, cuaca di Rangkasbitung sungguh panas dan gersang berbeda dengan cuaca di Bandung setiap pagi selalu saja dingin. Mandipun sangat malas, yang ada ku tarik kembali selimutku. Kepindahanku ke Rangkasbitung ini sepertinya akan mengubah gaya hidupku.
Baru kemarin aku pindah ke Rangkasbitung, aku pindah karena ayahku dipindah tugaskan ke kota yang gersang ini. Mau tak mau aku harus ikut dengan keluargaku tercinta ini, karena hanya merekalah yang aku punya di dunia ini. Aku harus merelakan semua kenangan terindah di kota kembang tersebut, dari mulai suasana, dan sahabat-sahabat terbaikku. Sesungguhnya aku sangat berat meninggalkan mereka semua, kisah tentang mereka sudah terpatri sangat jelas dihatiku. Akan tetapi kapanpun itu aku harus berpisah dengan teman-temanku tak ada yang dapat menahan kodrat dari Tuhan itu.

“Nat… kamu sudah siap belum?” teriak ibu dari ruang makan
“Sebentar Mam… aku siapkan buku dulu” sahutku menegaskan keadaanku saat ini.
“Cepat Nat! nanti kau terlambat, jadwal masuk di Bandung dan di Rangkasbitung berbeda loh” perkataan ibu yang entah benar ataukah tidak itu sontak membuatku panik dan bergegas ke ruang makan untuk sarapan.
Setelah sarapan dan berpamitan pada ayah, ibu mengantarku pergi ke sekolah baruku di Rangkasbitung.
***
Setelah berbincang dengan Kepala Sekolah, kepal sekolah memerintahkan bu Herlin mengantarku ke kelas yang nanti akan menjadi kelasku. Sepanjang perjalanan ke kelas, ku pandangi bu Herlin dari ujung kaki sampai ujung kepala. ‘Ya tuhan… ia sangat cantik dan manis’ batinku ikut memuji, tapi sayang ia hanya memperlihatkan wajah dan telapak tangannya saja, seluruh tubuhnya tertutup dengan rapih akan tetapi itu tidak mengurangi kecantikannya sedikitpun. Matanya yang coklat menatap sangat tajam, hidungnya sungguh lancip dan indah mungkin jika Sule melihatnya, Sule pasti merasa sangat terhina, di tambah dengan lesung pipi yang benar-benar membktikan keagungan Tuhan.
Bu Herlin mengajakku pada satu kelas yang lumayan besar dari kelas-kelas sebelumnya ku lihat. Setelah berbincang dan entah apa yang di bincangkan oleh bu Herlin dan bu Gugu yang belum aku tau namanya aku dititipkan pada guru yang ternyata bernama Bu Ningsih. Bu Ningsih lngsung mempersilahkan aku untuk memperkenalkan diriku pada seisi kelas.
“Pagi semua…” sapaku membuka perkenalanku pada mereka, dan merekapun menjawab sapaku dengan sedikit bercanda.
“Namaku Natali Subekti, aku adalah siswi pindahan dari kota Bandung. Aku pindah dari Bandung karena ayahku dipindah tugaskan ke Rangkasbitung. Salam kenal semua…” perkenalan singkatku langsung mendapat applause dari teman-teman baruku.
Setelah ku perkenalkan diri, bu Ningsih mempersilahkanku duduk dengan siswi yang duduk sendirian.
“Hai… kenalkan, namaku Siti Aisyah” ucap Aisyah dengan sangat lembut sembari mengulurkan tangannya ke arahku.
“Hai… namaku Natali, senang berkenalan dengan kau Aisyah” jawabku pada Aisyah gadis yang terlihat anggun dan cantik, tubuhnya tertutup rapat sama seperti bu Herlin, yang berbeda hanyalah matanya lebih sayu, halisnya yang tebal dan tak ada lesung pipi yang menghiasi pipinya.
Pelajaran berjalan dengan tenang, dan aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Karena materi yang diberikan sudah pernah aku pelajari ketika aku di Bandung.
TEEEET… TEEET
Bel menandakan waktu istirahat telah tiba dan semua orang bergegas keluar setelah bu Ningsih keluar. Ketika Aisyah juga akan keluar aku langsung menahannya.
“Aisyah” panggilku pada aisyah ketika ia akan keluar “maukah kau mengajakku berkeliling sekolah. Aku belum kenal sekolah ini dan orang yang baru aku kenal hanyalah kau Aisyah” lanjutku meminta Aisyah agar mau menemaniku berkeliling sekolah yang asing bagiku.
“Dengan senang hati Nat… tapi, maukah kau menungguku sebentar. Aku harus shalat dhuha terlebih dahulu, tak jauh di mesjid di depan kelas kita. Atau mungkin kau mau ikut shalat dhuha bersamaku” jawabnya dengan tersenyum penuh kedamaian.
“Hm… Agamaku berbeda denganmu Aisyah, tapi aku tunggu kamu di depan masjid saja bagaimana?” jawabku sembari member tahu padanya jika agama yang ku anut berbeda dengan dirinya.
“Astagfirullah… maafkan aku Nat, aku tidak tahu tentang hal itu. Sungguh aku minta maaf Nat” ucapnya dengan nada yang sangat menyesal.
“Ah, tenang saja Syah… tidak apa kok. Kalau kau memang tidak tau berarti aku yang salah karena tidak memberi tahumu” jawabku agar Aisyah tidak merasa menyesal lagi.
“Sekali lagi aku minta maaf ya Nat, yasudah ayo ikut aku jika kau mau menunggu di masjid” ternyata rasa menyesal aisyah belum juga hilang. Tapi aku tetap mencoba meyakinkannya.
Setelah berbincang dengan Aisyah, akhirnya kami pergi ke tempat yang Aisyah sebut dengan masjid. Selama 16 tahun aku hidup, baru kali ini aku tahu dan melihat yang namanya masjid. Karena ketika aku di Bandung aku tinggal di tempat yang hampir semua penduduknya kristiani, akupun bersekolah di sekolah yang semua siswanya beragama kritiani.
‘Indah juga ya Masjid ini, baru ku tau dan rasakan ternyata sangat tentram dan damai suasananya’ ucapku dalam hati. Gedung Masjid ini di hiasi dengan tulisan yang aku tak tau apa dan bagaimana pengucapannya, hampir seluruh ruangan berwarna hijau tentram, pintu dan jendelanya benar-benar terlihat klasik seperti yang biasanya berada di gedung-gedung monumental dan memang terasa sangat indah dan sejuk daripada tempat-tempat lainnya di sekolah ini.
Setelah 10 menit aku menunggu Aisyah, akhirnya ia selesai juga menjalankan ibadahnya. Dengan penuh keikhlasan Aisyah memperkenalkan setiap sudut dari sekolah ini padaku, tak lupa ia juga memperkenalkanku pada teman-temannya. Lelah mengelilingi sekolah ini kami berniat untuk mengunjungi kantin, sekalian aku ingin mengisi perutku yang sedari tadi sudah demo tak sabar minta di isi. Baru saja kami berdua menuju pintu kantin yang berdekatan dengan lapangan bulu tangkis. Bel langsung saja memaksa kami untuk kembali ke kelas, karena kata Aisyah guru yang akan masuk kali ini adalah bu Tita, ia adalah guru yang baik, akan tapi tegas dan kita tidak boleh telat sedikitpun, begitu tutur Aisyah. Karena aku adalah murid baru dan tak ingin membuat masalah, lebih baik aku ikuti saja peraturan yang ada.
Pelajaran Matematika yang diberikan oleh bu Tita tadi sungguh sangat mudah dimengerti, padaha tadinya aku sama sekali  tak mengerti. Tapi setelah bu Tita menjelaskannya aku dapat mengerti dengan cepat. Saking asyknya pelajaran yang diberikan bu Tita, tak terasa waktu bergulir begitu cepatnya. Ketika ku lihat, jam di dinding telah menunjukkan pukul 12.12 dan tiba-tiba terdengar suara.
“Allah hu akbar Allah hu akbar… Allah hu akbar Allah hu akbar…” entah mengapa hatiku seperti mendengarkan sura yang terindah. Hatiku bergemuruh tak menentu, tiba-tiba saja air mataku menetes dari sudut mataku, tak pernah ku merasa seharu ini mendengar apapun. Tapi entah mengapa suara ini begitu indah dan air mataku tak henti mengalir begitu deras.
Aisyah aneh sekali melihatku tiba-tiba menangis dan hanya aku yang tahu penyebabnya, dan akupun tak tahu mengapa bisa seperti itu.
“Kau kenapa Nat? mengapa kau menangis? Kau sakit?” selidik nisa dengan suara rendah, karena ia tidak ingin mengganggu yang lain.
“Akupun tak mengerti Syah, kau tahu suara yang keluar dari pengeras suara tadi?” jawabku dengan sedikit terisak.
“Suara Adzan maksudmu” ia kembali bertanya.
“Entahlah apa namanya, tapi baru aku mendengar suara itu dan tiba-tiba hatiku sangat miris dan sedih. Hatiku haru sekali Syah. Sebenarnya suara apa itu” lirihku dengan deras air mata yang benar-benar sudah membasahi pipiku.
“Subhanallah, jarang sekali ada orang yang merasakan karunia ini Nat, bahkan akupun ingin merasakannya. Itu adalah suara adzan, suara yang memberi tahu dan mengajak semua umat muslim untuk Shalat. Dan sekarang adalah waktunya untuk shalat” jelasnya dengan jelas, dan entah mengapa, di sudut mata Aisyah terlihat basah.
“Shalat apa itu shalat?” aku tetap inginkan kejelasan atas semua ini.
“Shalat adalah ibadah di Agama kami. Dan kami memiliki 5 waktu untuk beribadah” jelas Aisah. Dan tiba-tiba…
“Okey anak-anak, waktu ibu mengajar telah habis. Kalian pelajari lagi pelajaran kali ini di rumah, minggu depan ibu akan adakan kuis” suara bu Tita membuat kami berdua shock.
Kelaspun bubar, akan tetapi hampir semua siswa tidak langsung meninggalkan sekolah. Mereka pergi ke masjid, entah apa yang akan mereka lakukan. Mungkin merek akan shalat, ibadahnya umat Islam. Dengan rasa haru dan sedih yang masih saja menggelayut di hatiku aku meninggalkan sekolah dan bergegas pulang ke rumah.
***
Setibanya aku di rumah, langsung ku tutup pintu kamar dan merebahkan tubuhku pada kasur empuk yang dibalut dengan spray warna pink kesukaanku. Suasana kamar dengana tebaran warna pink disetiap sudutnya sedikit membuat fikiran dan hatiku tenang. Namun tiba-tiba aku merasa ada di suatu tempat yang indah bak istana yang lebih megah dari istana-insata yang pernah aku lihat di film-film kartun favoritku, tempat itu berkilauan begitu mewah entah terbuat dari apa bangunan itu, kilauannya seperti kilauan emas yang indah. Di setiap dinding ku lihat tulisan yang sama yang pernah ku lihat di masjid sekolah. Entah apa tulisan itu dan bagaimana cara ku membacanya, aku tak mengerti dan tiba-tiba ada empat orang pria dengan wajah yang berseri, memakai baju putih yang menutupi badannya, mereka memakai topi bundar juga berwarna putih menghampiriku dan mengelilingiku dan mereka melantunkan suara yang sama ku dengar di sekolah tadi siang.
“Allah hu Akbar… Allah hu Akbar…” suara yang di lantunkan oleh keempat pria itu, dan aku ingat bahwa suara itu adalah suara adzan. Rasa haru yang ku rasakan ketika aku di sekolah kini kembali lagi dan lebih dahsyat dari sebelumnya. Aku menangis seegukkan, dan rasa haru itu begitu indah bagiku  begitu membuat hatiku tenang tapi entahlah, aku tak dapat menggambarkan suasana hatiku saat ini.
“Sayang… sayang kenapa kamu nangis cantik?” suara perempuan mencoba membangunkanku “apa yang kau mimpikan sehingga kau menangis sesegukan seperti itu” perempuan itu masih saja mengintrogasiku dengan pertanyaan pertanyaannya.
Tiba-tiba aku terbangun dan melihat sosok ibuku yang berdiri menatapku. “Mamah…” teriakku memanggil wanita yang sangat ku sayang.
“Ada apa sayang , apa yang kau impikan sampai kau menangis seperti itu?” pertanyaannya ia ulang lagi untuk meminta jawaban yang pasti dariku. Tapi aku tak dapat menceritakan hal ini padanya, ia pasti tidak akan mengerti dengan maksud mimpiku ini, aku hanya terdiam dan menunduk.Tetapi aku berniat untuk menceritakannya pada Aisyah besok.
***
Gerbang yang masih terbuka lebar ku lalui dengan secepat kilat, aku berlari tak memperhatikan siapapun dan apapun. Aku ingin segera menceritakan semuanya pada Aisyah dan aku berharap ia tahu dan bisa menjelaskan semuanya padaku.
Dengan nada tersengal-sengal  setelah berlari kencang, akhirnya ku temukan Aisyah sedang duduk di tempat duduknya sembari mengucapkan sesuatu seperti mantra, karena aku tak ingin mengganggunya aku hanya terdiam menunggu ia selesai membaca entah apa namanya.
“Sodakallahul adzim…” ucap Aisyah mengakhiri aktifitasnya itu. “Ada apa Nat, kenapa kau berlari tersengal-sengal, apa kau di kejar seseorang?” tanya Asyah yang heran terhadap tingkahku pagi ini.
Sebelum ku jelaskan maksudku, ku tanyakan apa yang ia baca tadi. Ternyata ia membaca yang namanya Al-Matsurah, tapi tak ku tanya lebih jauh tentang hal itu. Lalu ku jawab pertanyaannya dengan terburu-buru dan bernafsu, aku jelaskan semua yang terjadi terhadapku. Semua mimpiku ku ceritakan padanya tak kurang satupun. Ia hanya mendengarkan dengan serius dan entah mengapa air mata terlihat dari sudut matanya yang sayu. Lalu ku minta ia menjelaskan tentang mimpiku itu.
“Sungguh aku bukanlah seorang penafsir mimpi, aku tak mengerti apa maksud dari mimpimu itu. Tapi akan ku jelaskan yang aku bias jelakan padamu” jawabnya dengan tenang. “tempat yang kau datangi mungkin adalah Masjid yang paling indah, dan tulisan yang ada di sekeliling masjid adalah lafadz ‘Allah’ Tuhan semesta alam dan yang satunya adalah ‘Muhammad’ Nabi akhir zaman, Nabi pembawa kebenaran bersama wahyunya (Al-Quran) yang menjadi pedoman bagi semua umat islam dan Rasul kita semua. Dan keempat pria itu menyerukan adzan kepadamu, mungkin untuk memerintahkan kepadamu untuk shalata dan beriman pada Allah dan Rasulnya Muhammad SAW” jelasnya cukup singkat.
“Lalu menurutmu aku harus berpindah keyakinan dan berpindah keagamamu?” tanyaku heran.
“Sesungguhnya Allah telah memberikanmu hidayah yang begitu indah, tidak semua bisa mendapatkan hidayah sepertimu dan Allah telah memilih kau untuk beriman dan menyembah-Nya. Tapi semua kembali lagi pada diri, hati dan keyakinanmu, islam tidak pernah memaksa siapapun apa lagi di Indonesia manusia bebas memilih keyakinannya. Tapi jika kau inginkan penjelasan yang lebih mendalam tentang mimpimu, besok aku bisa membawamu pada guru liqo / guru ngajiku, bagaimana?” lanjutnya dengan tetap lembut dan bijaksana.
“kalau begitu aku ingin bertemu dengan guru ngajimu itu, aku inginkan penjelasan yang sesungguhnya” jawabku terang-terangan.
Hari ini berjalan seperti biasanya, dan seperti biasa pula aku menangis sesegukan ketika mendengar adzan. Pulang sekolahpun aku langsung pulang seperti biasanya, tapi siang itu ibu mengajakku untuk pergi berbelanja ke pasar. Hari ini memang jadwal untuk berbelanja bulanan. Maklumlah ibu-ibu jika berbelanja lama sekali, apa lagi ibuku bisa berjam-jam, lelah rasanya walau hanya menuggu. Tapi tak sedikitpun ku lihat raut lelah di wajah cantik ibuku.
Pukul 18.00 kami baru sampai di rumah, ayah dan adik-adikku telah menunggu kedatangan kami di ruang tamu. Mereka telah kelaparan rupanya, tapi aku tak sanggup jika harus membantu ibu memasak. Akhirnya aku izin pada ibu untuk langsung ke kamar karena aku sangat lelah. Pintu kamar ku kunci, ku hambil handuk seperti biasanua dan melampiaskan lelahku dengan kesegaran air. Tubuh telah segar tapi mata dan kelelahan belum juga hilang dari diriku, dengan perut kosong langsung saja ku rebahkan tubuhku  dan mataku terpejam sesaat.
Aku kaget dan terheran karena ketika ku buka mataku, aku berada di tempat yang gelap, tempat yang sunyi, kosong, dan bau sekali. Tubuhku sangat kotor dan bau, bau busuknya sampai membutku mual. Aku coba teriak dan teriak tapi tak ada siapapun, aku hanya bisa menangis aku takut, aku jijik pada tubuhku sendiri. Sampai tiba-tiba aku melihat cahaya yang keluar dari lubang sebesar parabola di depan rumahku, dan aku melihat gadis cantik berpakaian anggun dan bersih. Aku kenal dengan gadis itu, yah… ia adalah Aisyah, ia terlihat cantik dan bercahaya. Ia mengulurkan tangannya dan berkata. “ikut aku Natali” aku segera meraih tangannya yang bersih, dan ketika ku pegang tangannya, tubuhku bersih dan bercahaya.
“Astaga…” teriakku sembari membuka mataku dan ternyata itu tadi hanya mimpi, tapi apa maksud dari mimpi itu. Mengapa beberapa hari ini aku sering bermimpi tentang hal yang tidak aku pahami.
***
TEEET… TEEET…
Bel menandakan bahwa pelajaran untuk hari ini telah usai. Aku langsung di ajak oleh Aisyah untuk menemui bu Yanti, guru ngaji Aisyah. Sebelum kami berdua menemui bu Yanti, ternyata Aisyah izin padaku untuk Shalat terlebih dahulu. Aku seperti biasanya menunggu di luar masjid.
Usai shalat, Aisyah mengajakku masuk ke dalam masjid, ternyata teman-teman ngaji Aisyah telah berkumpul di dalam masjid, aku canggung berkumpu bersama mereka. Aku malu dan merasa seharusnya tak berada di sana.
Pukul 14.00 bu Yanti baru menunjukan batang hidungnya, ia datang dengan seorang anak perempuannya yang berjilbab seperti Aisyah, bu Yanti, dan teman-teman yang lainnya Hanya aku yang tak berjilbab. Setelah serangkaian acara di lakukan, dari mulai pembukaan, pembacaan Al-Quran, penjelasan panjang lebar dari bu Yanti dan inilah acara yang sebenarnya ku tunggu sedari tadi.
Bu Yanti menyuruhku menceritakan semua yang terjadi padaku, termasuk mimpi yang ku alami. Tanpa ragu ku ceritakan segalanya dengan sangat detail termasuk agamaku, Tapi mimpi yang semalam belum ku ceritakan. Dan tak canggung lansung ku tanyakan pada bu Yanti tentang semua itu.
“Subhanallah…” ucap bu Yanti ketika mendengar ceritaku tadi, ku lihat matanya berkaca-kaca. “Mimpi itu memang hanyalah bunga tidur, akan tetapi dengan mimpi seseorang bisa lebih baik dari sebelumnya ataupun sebaliknya. Bisa jadi mimpimu datang dari syetan atau bahkan panggilan dan teguran dari sang Ilahi Allah SWT, ikuti kata hatimu untuk lebih baik lagi. Mengenai masalah adzan, adzan dalam islam ialah menyeru umatnya untuk bersegera melaksanakan shalat. Mungkin hatimu telah terketuk dengan panggilan adzan tadi, sampai-sampai kau menangis mendengarnya akan tetapi jasadmu belum juga terketuk. Untuk itu dalam mimpimu ada empat orang pria mengadzanimu” jelasnya dengan mantap.
Aku melirik pada Aisyah dan aku bertanya “Apa yang harus ku lakukan Aisyah, aku meminta pendapatmu. Karena semalam tadi aku bermimpi berada d lubang yang kotor, gelap, bau, dan sunyi. Lalu kau datang membawaku keluar dari lubang itu, dan ketika ku memegang tanganmu aku menjadi bersih dan bercahaya. Apa yang harus ku lakukan Aisyah?” tanyaku pada Aisyah sembari menceritakan mimpiku. Aisyah terlihat sangat terharu mendengar ucapanku, ia menangis sesegukan. Aku tak tahan melihatnya menangis, seketika ruangn itu banjir air mata oleh kami semua.
“Subhanallah, hiks… hiks… hiks… jika memang kau yakin bahwa mimpimu itu berasal dari sang ilahi dank kau menginginkan saran dariku. Aku akan menyarankan agar kau masuk agama kami, agama Islam” jawabnya penuh haru.
Akupun diam sejenak memikirkan yang terbaik yang harus aku ambil “Kalau begitu, bagai mana cara agar aku seiman denganmu Aisyah?” mendengar perkataanku semua menangis dan Aisyah memelukku erat. Aku langsung mengambil wudlu yang di contohkan oleh Aisyah dan dengan di saksikan Aisyah, bu Yati, dan teman-teman yang lain. Ku ucap dua kalimat syahadat dengan terbata. Setelah itu bu Yanti membacakan doa dan memelukku, lalu bu Yani menyuruh pada Aisyah agar mengajariku shalat, mengaji dan lain sebagainya dan aisyahpun bersedia.
Hari-hari ku lalui dengan agama dan keimananku yang baru. Tapi keluargaku belum mengetahui tentang hal ini. Dan Aisyah menyuruhku agar membicarakannya dengan orang tuaku , akan tetapi aku sangat takut. Dengan mantap Aisyah bersedia menemaniku untuk berbicara pada keluargaku.
Hingga hari itupun tiba, aku datang bersama Aisyah dengan mengharap agar aku di berikan yang terbaik oleh Allah SWT. Apapun keputusan keluargaku akan ku terima. Dan yang mengawali pembicaraan ialah Aisyah, kebetulan sekali keluargaku sedang kumpul semua. Aisyah menceritakan semuanya dari awal sampai akhir, aku hanya tertunduk tak berdaya. Tak sanggup ku tatap mata kedua orang tua yang sangat ku sayangi.
Tapi ayah sangat tidak terima dengan semua itu, ayah mengatakan bahwa Aisyah telah menghipnotis aku, mengajak pada kesesatan, menjelek-jelekkan aisyah dan lain sebagainya. Tapi dengan sangat tenang Aisyah menjawabnya dengan pasti bak pengacara kondang yang membela kliennya. Aku menangis tak kuasa mendengar perdebatan mereka, sampai keluarlah kata-kata pamungkas ayah.
“Sekarang semuanya terserah kau Natali, jika kau tetap memegang teguh agamamu yang sekarang ini, maka kau harus keluar dari rumah ini, jangan akui kami sebagi keluargamu, dan kau akan ku coret dari daftar keluargaku. Tapi jika kau berubah fikiran, maka pintu ini terbuka lebar untukmu” jelas ayah padaku. Aku tak tau harus menjawab apa, tapi dengan Basmallah.
“Aku mencintai kalian semua, aku menyayangi kalian semua, dan aku tidak ingin kehilangan kalian semua. Tapi aku juga berhak memilih kepercayaan yang aku imani saat ini, dan aku tidak akan menyesal tetap memegang teguh kepercayaanku kali ini. Walau harus ku tinggalkan rumah ini dan kalian semua” jawabku lantang.
“Sadarlah kau Natali, kau hanya sedang emosi nak…” ibu ikut menimpali dan menganggapku tak sadar.
“Insya Allah aku sadar seratus persen bu… aku siap menerima semua konsejuensinya dengan ikhlas” jawabku meyakinkan ibu yang terlihat sangat sedih.
“Jika kalian berdua memang mengusir Natali, maka biarkanlah aku menjadikannya keluargaku. Aku dan keluargaku dengan senang hati menerimanya” ucap Aisyah sangat santun.
“Keluar kalian berdua dari rrumah ini, jangan sekali-kali kalian menginjakkan kaki kalian di rumahku ini” kata-kata ayah bagaykan petir yang menyambar ubun-ubunku hatiku pilu, batinku teriak dan merintih. Tapi apalah daya, aku sudah memutuskan yang terbaik bagiku.
Aku dan Aisyah melangkahkan kaki keluar menuju rumah Aisyah, dan terkelibat syair di relung hatiku.
Sendiri
Kelu rasa tiada obat tuk terasa
Termuntahkan golongan sendiri
Terhapuskan tak terpungkiri
Menapaki bumi sebelah kaki
Menerawang jauh oleh satu mata
Tak seperti gerombolan angsa yang menari
Ku terpaku dan sendiri
Demi kebenaran hakiki pada sang ilahi
Biarkan ku diterpakan angin
Karena Allah dekat dengan relung hati
***

Di perjalanan dengan mobil angkot ku ungkapkan isi hatiku ini pada Aisyah, bahwa sebenarnya aku tak dapat hidup tanpa keluargaku. Entahlah aku akan kuat atau tidak, hidup tanpa keluargaku serasa sangat mustahil bagiku. Tapi Aisyah hanya tersenyum dan menjawab dengan lembutnya “Allah akan selalu ada bersama kita selamanya, dan nanti kau terbiasa dengan sendirinya” hatiku terasa tentram mendengarnya. Sungguh ingin ku lihat kedua orang tua Aisyah, kedua orang tua yang telah melahirkan malaikat yang sungguh shalehah dan cantik ini. ‘Apakah mereka memang keluarga malaikat’ fikirku ngelantur.
Setelah turun dari mobil angkot, Aisyah mengajakku pada sebuah rumah sederhana namun indah berwarna putih polos. Aisyah membuka pintu perlahan sembari mengucapkan salam, yang terlihat hanya kedua adik Aisyah, Nisa berumur sepuluh tahun, dan adiknya fawaz berumur lima tahun. Mereka sangat senang melihat kakaknya datang.
“Kalian sudah makan?” tanya Aisyah pada kedua adiknya
“Sudah ka, aku juga menyiapkannya untuk kau dan temanmu” jawab Nisa dengan lembut. Wajahnya tak jauh berbeda dengan Aisyah, matanya sayu, wajah bersih bersinar, halisnya yang tebal dan bibirnya yang mungil dan sexy.
Aku masih belum melihat kedua orang tua Aisyah, mungkin kedua orang tua Aisyah adalah pekerja keras. Sehingga belum pulang. Gerak gerikku yang mencari kedua orang tua Aisyah, ternyata terbaca oleh aisyah.
“Kau mencari apa Nat?” selidik Aisyah.
“Kemana kedua orang tuamu Aisyah, aku tak melihatnya” jawabku terus terang, namun ia hanya tersenyum dan mengajakku ke ruang tengah. Lalu ia berdiri di depan dua buah foto seorang pria dan wanita.
“Tiga tahun yang lalu, ketika ayah dan ibu pergi menghadiri undangan. Mereka berangkat memakai sepedah motor kesayangan ayah. Namun naas, ketika di jalan, ayah bertabrakan dengan mobil truck. Dan Allah mengambil mereka berdua. Dan kami di tinggalkan bertiga, tak ada keluarga yang kami punya di sini. Aku sangat terpuruk waktu itu, karena ku fikir , apakah sanggup ku menghidupi kedua adikku tanpa orang tuaku. Tapi Allah telah menunjukkan keagungannya, walau tanpa kedua orang tuaku, kami tetap bisa makan, minum, tertawa, bersekolah, dan hidup sampai sekarang ini” jelasnya dengan linangan air mata.
Sungguh, mendengar cerita Aisyah serasa tubuhku terhantam hujan badai dan petir yang menyerang hatiku ini. Aku menangis sesegukkan dan aku sadar bahwa semua telah Allah gariskan, dan walau tanpa kedua orang tuanya aisyah tetap bisa hidup dan bernafas.
“Aku menghidupi diri dan kedua adikku dengan berjualan makanan setelah pulang sekolah, terkadang aku memunguti barang bekas yang berserakan dijalanan dan menjualnya. Itu semua semata-mata karena ku yakin atas kehendak Allah” tanpa diminta untuk menjelaskan, aisyah menjelaskannya dengan isakan air mata. Dan tak kalah hebat dengan isyah, sekarang aku makin yakin dan mantap dengan apa yang ku pilih.
ALLAH HU AKBAR…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar